Hukum Dan Pandangan Shalat Jum’at
Shalat Jum’at dalam Pandangan Fiqih
Hukum Dan Pandangan Shalat Jum’at , Hari Jum’at merupakan hari yang penting bagi kaum muslimin. Hari yang memiliki kekhususan dan keistimewaan yang tidak dimiliki hari-hari lain. Allah memerintahkan kaum muslimin untuk berkumpul pada hari itu untuk menunaikan ibadah shalat di masjid tempat berkumpulnya penduduk. Di sana kaum muslimin saling berkumpul dan bersatu, sehingga dapat terbentuk ikatan kecintaan, persaudaraan adn persatuan.
HUKUM SHALAT JUM’AT
Hukum shalat Jum’at adalah wajib dengan dasar Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma. Adapun dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah,
yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jum’ah: 9)
SIAPAKAH YANG DIWAJIBKAN SHALAT JUM’AT
Syaikh Al Albani berkata, “Shalat Jum’at wajib atas setiap mukallaf, wajib atas setiap orang yang baligh, berdasarkan dalil-dalil tegas yang menunjukkan shalat Jum’at wajib atas setiap mukallaf dan dengan ancaman keras bagi meninggakannya.” (Al Ajwiba An Nafi’ah ‘An Asilat Lajnah Masjid Al Jami’ah, karya Muhammad Nashiruddin Al Bani, cetakan kedua, tahun 1400H, Al Maktab Al Islami, Beirut, hlm 42-43)
WAKTU SHALAT JUM’AT
Waktu shalat Jum’at dimulai dari tergelincir matahari sampai akhir waktu shalat Dhuhur. Inilah waktu yang disepakati para ulama (Lihat Al Mughni, op.cit 3/160), sedangkan bila dilakukan sebelum tergelincir matahari, maka para ulama berselisih dalam dua pendapat.
Pertama. Tidak sah. Demikian pendapat jumhur Ulama dengan argumen sebagai berikut:
- Hadits Anas bin Malik, ia berkata,
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Jum’at ketika matahari condong (tergelincir).” (HR. Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Jumu’ah. Bab Waktu Jum’ah Idza Zalat Asy Syamsu no. 853) - Hadits Salamah bin Al Aqwa, ia berkata,
“Kami shalat Jum’at bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tergelincir matahari, kemudian kami pulang mencari bayangan (untuk berlindung dari panas).” (HR. Imam Muslim dalam Shahih0nya, kitab Al Jumu’ah, Bab Shalatul Jum’ah Hina Tazulu Asy Syamsu, no 1323)
Inilah yang dikenal dari para salaf, sebagaimana dinyatakan Imam Asy-Syafi’i; “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar Umar, Utsman dan para imam setelah mereka, shalat setiap Jum’at setelah tergencilir matahari.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/380)
Tinggalkan Balasan